Jumat, Maret 29, 2024

Di Depan BEM PTMI, LaNyalla Ajak Hentikan Kerusakan Fundamental Bangsa

Must read

Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, mengajak Badan Eksekutif Mahasiswa Perguruan Tinggi Muhammadiyah (BEM PTMI) se Indonesia untuk menghentikan kerusakan fundamental bangsa. Dikatakan LaNyalla, kerusakan bangsa yang fundamental tersebut adalah ketidakadilan yang telah melampaui batas.

Penegasan itu disampaikan saat membuka secara virtual Silaturahmi Nasional BEM PTMI yang mengusung tema ‘Meneguhkan Kebhinekaan’, di Mataram, NTB, Kamis (9/6/2022). Hadir dalam acara itu Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, Gubernur Nusa Tenggara Barat, Zulkieflimansyah, Rektor Universitas Muhammadiyah Mataram, Arsyad Abdul Gani, dan Koordinator Presidium Nasional BEM PTMI, Nadief Rahman Harris.

“Ketidakadilan adalah salah satu penyumbang Kemiskinan Struktural. Dan Kemiskinan Struktural adalah kondisi yang memperlemah persatuan kita sebagai bangsa dalam kebinekaan,” tandas LaNyalla.

Oleh karena itu, lanjutnya, kerusakan itu harus kita hentikan. Karena telah melampaui batas. Dan Allah SWT tidak ridlo kepada hambanya yang melampaui batas. Allah SWT memang maha pengasih dan penerima taubat. Tetapi jika ketidakadilan ini diteruskan, Allah SWT bisa murka. Dan murka Allah SWT telah dicontohkan kepada bangsa-bangsa sebelum kita.

Diungkapkan LaNyalla, Oligarki Ekonomi yang menyandera Kekuasaan dan memaksakan kebijakan yang menguntungkan mereka untuk menguras kekayaan negeri ini adalah penyumbang utama Ketiadakadilan.

“Oligarki Ekonomi ini kita beri ruang untuk mengatur dan mendisain pemimpin nasional bangsa ini melalui lahirnya Pasal 222 Undang-Undang Pemilu yang memberi ambang batas atau presidential threshold bagi partai politik yang akan mengusung calon presiden,” urainya.

Sehingga, tambahnya, tidak semua partai politik dapat mengajukan kader terbaiknya untuk menjadi calon pemimpin nasional. Akibatnya, pilihan yang diberikan kepada rakyat terbatas. Dan pilihan itu ditentukan oleh Oligarki Ekonomi yang menyatu dengan Oligarki Politik yang mendisain dan membiayai proses tersebut.

“Jadi jangan heran bila janji-janji manis untuk mewujudkan Keadilan Sosial dan Kemakmuran Rakyat yang diucapkan oleh kandidat Capres-Cawapres tidak akan pernah terwujud. Karena mereka yang membiayai proses munculnya pasangan Capres dan Cawapres itu adalah Oligarki Ekonomi yang memperkaya diri dari kebijakan dan kekuasaan yang harus berpihak kepada mereka.

“Maka, siapapun Calon Presiden 2024 nanti, selama Oligarki Ekonomi yang mendisain dan membiayai, maka janji-janji manis Capres itu tidak akan pernah terwujud,” tukasnya.

Karena bagaimana mungkin seorang Capres akan menghentikan Impor Garam, Impor Gula, Impor Beras dan komoditas lainnya, sementara Oligarki Ekonomi yang mendisain dan membiayai Capres tersebut adalah bagian dari Penikmat Uang Rente dari Keuntungan Impor?

Bagaimana mungkin seorang Capres akan mewujudkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Ayat 1, 2 dan 3 dimana bumi, air dan isinya dikuasai negara untuk sepenuhnya kemakmuran rakyat dan cabang produksi yang penting bagi hajat hidup orang banyak dikuasai negara, bila Oligarki Ekonomi yang mendisain dan membiayai Capres tersebut adalah penikmat Konsesi Lahan atas Sumber Daya Alam Hutan dan Tambang?

Bagaimana mungkin seorang Capres mampu melakukan Re-Negosiasi kontrak-kontrak yang merugikan negara terhadap cabang-cabang produksi yang penting bagi hajat hidup orang banyak, seperti Listrik dan Energi, sementara Oligarki Ekonomi yang mendisain dan membiayai Capres tersebut adalah bagian dari penikmat dalam kontrak-kontrak tersebut?

“Itulah mengapa, DPD RI secara kelembagaan mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi untuk menghapus Pasal 222 Undang-Undang Pemilu. Karena selain melanggar Konstitusi, juga menghalangi terwujudnya cita-cita lahirnya negara ini seperti tertulis di dalam Naskah Pembukaan Konstitusi kita,” ujar Senator berdarah Bugis tersebut.

Apalagi, tambahnya, Pasal 222 tersebut juga menutup pintu bagi Partai Politik baru peserta Pemilu untuk mengajukan Pasangan Capres dan Cawapres karena kewajiban menggunakan basis suara Pemilu 5 tahun sebelumnya.

“Perjuangan ini bukan untuk saya pribadi. Karena saya bukan politisi. Saya tidak berpikir next election. Tetatpi sebagai negarawan saya harus berpikir next generation. Dan memperjuangkan keadilan adalah bagian dari upaya kita sebagai bangsa mensyukuri rahmnat dan karunia Tuhan yang memberi Indonesia kebinekaan dan keaneragaman hayai dan SDA yang melimpah,” pungkasnya. (*)

BIRO PERS, MEDIA, DAN INFORMASI LANYALLA
www.lanyallacenter.id

More articles

IklanIklanIklan HuT RI

Latest article