Setelah libur panjang, santri Pondok Pesantren Alquran Darul Inqilabi Lubukbasung kembali memulai tahun ajaran 2024/2025 pada Juli 2024. Minggu pertama di asrama adalah masa adaptasi, di mana santri baru mulai berkenalan dengan lingkungan pondok. Ini juga merupakan waktu yang penuh tantangan bagi mereka, terutama bagi yang baru pertama kali tinggal jauh dari orang tua. Beberapa di antara mereka menangis, merindukan rumah, dan bahkan berharap ada yang menjemput mereka.
Bagi santri laki-laki, setelah satu minggu beradaptasi, mereka dibawa ke lapangan futsal untuk bermain bersama beberapa ustad. Aktivitas ini bertujuan untuk mengalihkan perhatian mereka dan mengurangi rasa rindu. Rata-rata, semua santri menunjukkan antusiasme yang tinggi, termasuk Muhammad Ismail, santri kelas III yang sebelumnya tidak terlalu tertarik pada futsal.
Ternyata, meskipun Ismail tidak begitu menyukai futsal sebelumnya, suasana yang penuh semangat dari teman-temannya membuatnya merasa termotivasi. Ismail menyadari bahwa banyak santri yang telah membawa sepatu futsal mereka dari kampung halaman masing-masing. Ini membuatnya merasa tertinggal karena ia tidak memiliki sepatu futsal sendiri.
Kisah ini semakin mengharukan ketika kita mendengar bagaimana Ismail berusaha keras untuk mendapatkan sepatu futsal. Suatu siang, Ismail dengan penuh harapan bertanya kepada ayahnya, “Ayah, ada uang?” Ketika ayahnya menanyakan untuk apa, Ismail menjelaskan dengan tulus, “Kalau ayah ada uang, saya rencana mau pinjam untuk beli sepatu futsal.” Ayahnya menjawab, “Kapan?” Ismail menjawab, “Nanti saya kabarkan kapan saya mau beli sepatu.”
Perlu diketahui bahwa walaupun ayah Ismail adalah pimpinan pondok, Ismail berusaha keras untuk tidak memanfaatkan posisinya. Dia tidak ingin terlihat sebagai santri yang lebih istimewa dibandingkan teman-temannya. Ismail sangat ingin diperlakukan sama seperti santri lainnya, tanpa adanya perlakuan khusus dari ayahnya. Ini menunjukkan betapa dia sangat menghargai keadilan dan ingin menunjukkan bahwa dia berusaha seperti santri lainnya.
Setiap hari, saya berkunjung ke pondok mulai pukul 04.00 WIB untuk menemani santri di mushala. Saya sering bertemu Ismail yang tampaknya menyimpan sesuatu di dalam hatinya. Dia berbicara dengan Dodi dan Habib, dua orang yang menjaga mereka di asrama. Meskipun tampaknya ada sesuatu yang ingin diungkapkan, Ismail sulit untuk menyampaikannya.
Suatu malam setelah shalat Maghrib, Ismail memohon untuk berbicara dengan ayahnya. Setelah shalat Isya, dia mengungkapkan keinginannya untuk mencari uang tambahan saat libur pondok, seperti hari Minggu. Saya terkejut dan terharu mendengarnya. “Ayah, uang ada, saya beri jika Ismail minta,” saya katakan. Namun, Ismail dengan penuh tekad menjawab, “Saya ingin mandiri, ayah. Saya tidak mau menyusahkan ayah. Minggu kemarin, saya bekerja di sawah membantu Tante Opet membersihkan ladang jagung, dan uangnya saya gunakan untuk membeli sepatu futsal. Saya tidak mau menyusahkan ayah.”
Ismail melanjutkan dengan penuh rasa syukur, “Saya ingin bermain bola, tapi sepatu saya tidak ada. Sekarang saya sudah punya sepatu futsal. Terima kasih, ayah, yang selalu sayang kepada Ismail. Kalau ada kerja di hari Minggu, ajak Ismail ya, ayah. Karena Ismail ingin mandiri, seperti yang ayah ajarkan kepada saya.”
Mendengar kata-kata Ismail, saya merasa sangat tersentuh. Saya bukan melarangnya mencari uang, tetapi sebagai santri yang masih kecil, saya khawatir jika ia tidak memiliki uang, ia tidak akan mengatakannya. Dengan senyuman penuh kebanggaan, saya memeluk Ismail dan berkata, “Terima kasih, Ismail, atas usaha dan niat baikmu. Ayah bangga dengan semangatmu untuk mandiri.”
Dalam pelukan itu, Ismail dengan lembut mengucapkan terima kasih dan melanjutkan, “Makasih, ayah.” Momen ini bukan hanya menunjukkan dedikasi Ismail untuk meraih mimpinya, tetapi juga menggambarkan kedekatan dan kasih sayang yang mendalam antara ayah dan anak. Ini adalah kisah haru yang mengajarkan nilai-nilai ketekunan, keadilan, dan rasa syukur yang tiada tara.
Penulis: Hasneril, SE