Koalisi NGO desak Prabowo segera tetapkan status bencana nasional di tiga provinsi Sumatera

Desa Aek Garoga, Kec Batang Toru, Kab tapanuli Selatan, Sumatera Utara (Antara Foto)

Koalisi Sumatera Terang untuk Energi Bersih (STuEB) gabungan 15 organisasi non-pemerintah yang fokus pada isu lingkungan dan HAM di Pulau Sumatera mendesak pemerintah segera menetapkan status bencana nasional di tiga provinsi di Sumatera untuk mempercepat penanganan korban dan menanggulangi dampak bencana ekologis berupa banjir bandang dan tanah longsor.

Lima hari setelah banjir bandang pertama melanda wilayah Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan Sumatera Utara, pada 25 November 2025, bencana ekologis lainnya berupa banjir bandang beruntun menerjang wilayah Sumatera Barat dan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 30 November 2025 merilis 303 jiwa korban meninggal dunia di tiga provinsi dan 289 orang dinyatakan hilang. (https://www.bnpb.go.id/berita/kepala-bnpb-korban-meninggal-dunia-atas-bencana-hidrometeorologi-aceh-sumut-dan-sumbar-jadi-303-jiwa)

Di wilayah Sumatera Utara korban meninggal dunia sebanyak 172 orang dan 147 orang masih dinyatakan hilang. Sejumlah wilayah kabupaten yang terdampak paling parah adalah Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Pakpak Barat dan Mandailing Natal.

Di wilayah Sumatera Barat disebutkan korban sebanyak 90 orang meninggal dunia, dan 87 orang hilang masih hilang dengan wilayah terdampak parah adalah Kabupaten Agam, Padang Pariaman, Kota Padang dan Pesisir Selatan.

Sementara di wilayah Aceh, BNPB merilis sebanyak 53 orang meninggal dunia, 55 orang masih hilang dengan wilayah terdampak terparah di Kabupaten Aceh Utara, Bener Meriah, Aceh Tengah, Aceh Tenggara dan Aceh Singkil.

Meski sudah ratusan korban meninggal dunia dan ratusan lainnya masih dinyatakan hilang serta sejumlah infrastruktur dasar lumpuh mulai dari sarana transportasi dan telekomunikasi, tanggapan pemerintah atas bencana ini menyisakan keprihatinan.

Bahkan pemerintah menyatakan belum menetapkan status bencana nasional atas apa yang dilanda masyarakat tiga provinsi di Sumatera saat ini. Keputusan yang sangat buruk dari pemerintahan Prabowo Subianto mengingat pemerintah daerah juga sepertinya gelagapan menghadapi situasi.

Sementara di daerah, meski sudah menetapkan status tanggap darurat tingkat daerah untuk masing-masing pemerintah daerah provinsi, penanganan terhadap korban bencana sangat lambat.

Kerusakan sejumlah infrastruktur jalan membuat sulit menjangkau dan menyalurkan pertolongan bagi korban, terutama di daerah terpencil yang menjadi korban longsor.

Lima hari pasca bencana, pemerintah sangat lamban memberikan penanganan dan menyalurkan bantuan sehingga masyarakat mulai panik dan menjarah minimarket di sejumlah wilayah.

Bahkan kantor Bulog yang menyimpan cadangan beras juga tidak luput dari aksi masyarakat untuk mengamankan bahan pangan hingga bantuan darurat tiba bagi mereka.

“Saat ini akses jalan darat ke lokasi-lokasi jatuh korban masih terisolir sehingga terjadi perebutan bahan makanan antar sesama masyarakat karena kelangkaan sumberdaya pangan yang tersedia. Mereka harus menempuh perjalanan berjam-jam menggunakan perahu untuk dapat menerima bantuan pangan dari luar,” kata Aji Surya dari Yayasan Srikandi Lestari dari Koalisi Sumatera Terang untuk Energi Bersih.

Masifnya kerusakan infrastruktur akibat longsor dan banjir yang membawa gelondongan kayu dan sedimen sehingga memutus badan jalan membuat penanganan dampak bencana ini perlu direspon oleh pemerintah pusat dengan menetapkan status bencana nasional.

““Korban terus bertambah, ratusan masih hilang, dan kondisi lapangan sangat memprihatinkan. Tidak ada alasan bagi pemerintah untuk menunda. Penetapan bencana nasional adalah langkah minimum agar respons kemanusiaan dapat berjalan cepat dan terkoordinasi,” kata Direktur APEL Green Aceh, Syukur Tadu.

Konsolidator Sumatera Terang untuk Energi Bersih, Ali Akbar menilai pemerintah terkesan gagap menangani bencana ekologis dan lebih miris, anggaran penanggulangan bencana di BNPB pun tidak lebih dari Rp1 triliun untuk tahun 2025. Lembaga ini mengalami pengurangan anggaran dari Rp1,4 triliun menjadi Rp956,6 miliar, artinya terjadi pengurangan sebesar Rp470 miliar.

“Artinya negara memang tidak ada niat untuk menyelamatkan rakyat yang menjadi korban dari kebijakan yang memuluskan kerusakan ekologis Sumatera ini,” kata Ali.

Bencana besar yang terjadi di Aceh, Sumut, dan Sumbar tidak semata-mata akibat fenomena alam. Tragedi ini merupakan bencana ekologis yang dipicu oleh kerusakan lingkungan hidup.

Pulau Sumatera, pulau terbesar kedua di Indonesia, sejak lama dikenal sebagai salah satu pusat kekayaan ekologis Asia Tenggara. Dengan bentang alam yang memanjang dari ujung Sabang hingga Lampung. Dengan luas sekitar 473 ribu kilometer persegi, menjadi rumah bagi salah satu sistem hutan hujan tropis paling penting di dunia.

Pulau ini membentang memanjang dari barat laut ke tenggara, dipisahkan oleh deretan Pegunungan Bukit Barisan yang menjadi tulang punggung ekologisnya, sementara di sisi timur terbentang hamparan rawa gambut yang pernah menjadi salah satu bentang lahan basah terbesar di Asia Tenggara. Namun, dalam dua dekade terakhir laju deforestasi di pulau Sumatera menunjukkan angka yang sangat tinggi.

Berdasarkan data Global Forest Watch (https://www.globalforestwatch.org/) data kehilangan hutan primer basah dari 2002 hingga 2024 menunjukkan tren yang mengkhawatirkan di tiga provinsi yang mengalami bencana: Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Ketiganya mencatat kehilangan ratusan ribu hektare hutan dalam dua dekade terakhir, sebagian besar terjadi di wilayah yang memiliki tingkat tekanan tinggi terhadap tutupan pohon.

Aceh kehilangan 320.000 hektare (ha) hutan primer basah dari tahun 2002 sampai 2024. Enam wilayah dengan laju kehilangan tutupan pohon tertinggi yaitu Nagan Raya 97.000 ha, Aceh Timur 93.000 ha, Aceh Singkil 73.000 ha, Aceh Barat 70.000 ha, Aceh Utara 59.000 ha.

Sumatera Utara mencatat kehilangan tertinggi dengan luasan 390.000 ha hutan primer basah. Data dari tahun 2001 hingga 2024, Sumatera Utara kehilangan 1,6 juta ha tutupan hutan dengan enam kabupaten yang terluas kehilangan tutupan pohonnya yaitu Mandailing Natal 170.000 ha, Labuhanbatu Selatan 160.000 ha, Asahan 130.000 ha, Langkat 130.000 ha, Padang Lawas 120.000 ha, dan Labuhanbatu 120.000 ha.

Sementara Sumatera Barat kehilangan 320 ribu ha hutan primer basah. Sejak tahun 2001 hingga 2024, Sumatera Barat telah kehilangan 740.000 ha tutupan pohon terutama di tiga kabupaten dengan angka tertinggi yaitu Dharmasraya 150.000 ha, Pesisir Selatan 140.000 ha, Pasaman Barat 120.000 ha.

Hilangnya tutupan hutan inilah yang menyebabkan tanah kehilangan daya serap air, lereng bukit menjadi rentan longsor, daerah resapan menyusut drastis, dan DAS berubah menjadi saluran air instan. Kondisi inilah yang menyebabkan banjir bandang dan tanah longsor semakin parah.

Berbagai aktivitas industri seperti pemberian izin Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), proyek energi berskala besar serta industri tambang, turut memperburuk kondisi hutan di kawasan Sumatera, terutama di wilayah-wilayah yang sebelumnya memiliki tutupan hutan yang relatif utuh.

Manajer Kampanye P2LH Aceh Aldi Ferdian mengatakan banjir yang membawa material kayu gelondongan mengindikasikan adanya korelasi kuat dengan kerusakan lingkungan. Di saat yang sama, data menunjukkan Aceh kehilangan tutupan hutan secara signifikan, di mana Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) mencatat adanya peningkatan deforestasi sebesar 19 persen dari 8.906 hektare pada tahun 2023 menjadi 10.610 hektare pada tahun 2024.

“Ini menunjukkan lemahnya penegakan Qanun Aceh tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan pengawasan terhadap praktik deforestasi, termasuk kegiatan ilegal seperti penambangan emas tanpa izin atau Peti dan ekspansi perkebunan yang berkontribusi langsung pada tingginya angka korban dan kerugian, serta langkah kongkret apa yang harus segera diambil pemerintah Aceh dan pusat untuk menghentikan ‘bencana ekologis’ yang dipicu oleh alih fungsi hutan yang masif di kawasan hulu,” kata Aldi.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, Diki Rafiki menilai berdasarkan UU nomor 24 tahun 2007, PP nomor 21 tahun 2008 dan Perpres nomor 17 tahun 2018 bahwa bencana nasional ditetapkan bila korban jiwa dalam jumlah besar, kerugian material signifikan, dan wilayah terdampak luas dan lintas daerah serta pelayanan publik dan pemerintahan terganggu.

“Bencana yang terjadi di Sumatera sudah memenuhi semua indikator ini maka segera tetapkan status bencana nasional,” katanya.

Must Read

Related News