spot_img

HS Bebas Beraksi di Tanjung Gundap Karena Ada Setoran Keamanan?

Batam — Negara ini sedang sekarat. Dan salah satu kanker ganasnya tumbuh subur di sebuah sudut pesisir bernama Tanjung Gundap. Di sanalah satu sosok bayangan berkuasa lebih dari camat, lebih dari polisi, bahkan lebih dari menteri: HS. Nama ini tak butuh gelar. Ia cukup menggerakkan jari untuk membuat truk melintas, kapal bersandar, dan aparat diam.

Dulunya nelayan. Kini mafia. Tanjung Gundap telah berubah menjadi titik hitam penyelundupan lintas pulau. Setiap malam, truk-truk besar keluar masuk. Kapal kecil bersandar tanpa sensor. Barang ilegal—mulai dari rokok tanpa cukai, onderdil moge, hingga balpres bekas—dibongkar dengan tenang, tanpa satu pun aparat menoleh.

Razia? Nihil. Penindakan? Tidak pernah. Negara benar-benar absen. Di wilayah ini, hukum tak berlaku. Yang berlaku hanya uang dan ketakutan.

Siapa yang Melindungi HS?

Pertanyaan ini menggema di lorong-lorong gelap Tanjung Gundap. Warga tahu, tapi memilih bungkam. Mereka hidup dalam teror: intimidasi, ancaman, bahkan kekerasan. Premanisme bukan cuma alat represi, tapi juga perisai kekuasaan. HS bukan sekadar mafia—ia institusi dalam dirinya sendiri.

Ini bukan sekadar kriminal. Ini kartel. Sistematis. Berlapis. Dan dilindungi,” ujar salah satu sumber kami, yang menolak disebut namanya demi keselamatannya.

Bea Cukai dan Aparat Apakah Mati Rasa?

Bea Cukai Batam seharusnya jadi garda terakhir. Tapi faktanya? Justru menjadi lorong lengang tempat barang ilegal melewati batas. Tak ada penyegelan. Tak ada penyidikan. Tak ada sidak. Diam seribu bahasa. Diam yang memekakkan. Diam yang mengkhianati.

Malah sadisnya, investigasi.news menerima WhatsApp, yang secara terang-terangan menyuap media agar tidak memberitakan aktivitas mereka.
“Saya mohon dibantu dengan 300. Satu media itu kemampuan kami. Ingin berteman dengan bulanan, satu media 150…”
Kalimat itu bukan sekadar permohonan. Itu bentuk suap terbuka, pengakuan tak sadar bahwa mereka terbiasa membeli.

Jika tahu dan membiarkan, itu pengkhianatan. Jika tak tahu, itu kelalaian. Dua-duanya dosa negara.

Lebih dari lokal, HS diduga kuat terhubung ke jaringan penyelundupan skala nasional. April 2025, dalam penggerebekan besar di Pelabuhan Batu Ampar, ditemukan 30 motor Harley Davidson dan mobil mewah yang masuk dengan dokumen fiktif sebagai “sepatu dan plastik.” Barang-barang ini diduga dikirim oleh PT Asya Terbit Berjaya (ATB) dan diarahkan ke Limanda Industries, Tanjung Sengkuang.

Penerima akhir? Kota besar seperti Pekanbaru dan Jakarta. Pengendalinya? VC, B, H, dan TS—nama-nama lama dalam jaringan hitam Batam.

Dan di balik urusan logistik dan keamanan, nama HS kembali muncul.

Hukum Lumpuh, Sistem Bobrok

Hingga berita ini diturunkan, tidak ada OTT. Tidak ada penggerebekan. Tidak ada tindakan. Polisi, TNI AL, Kejaksaan, Bea Cukai—semuanya diam. Publik bertanya: berapa harga diam mereka?

HS hidup dalam benteng kekebalan. Bukan karena dia kuat, tapi karena sistem lemah dan bisa dibeli.

Presiden Sudah Bicara, Tapi di Batam, Negara Tidak Ada

Presiden Prabowo Subianto dalam Musrenbangnas RPJMN 2025–2029 menegaskan bahwa penyelundupan adalah musuh ekonomi dan penggerogot kedaulatan. Tapi di Batam, ucapannya tak punya taring. Mafia lebih didengar ketimbang perintah negara.

Sementara itu, rakyat Tanjung Gundap hidup dalam kepungan ketakutan. Anak-anak tumbuh menganggap premanisme sebagai bagian dari kehidupan normal. Karena kehadiran negara tak pernah mereka lihat. Yang mereka tahu hanya satu nama: HS.

Kami sudah berhenti percaya pada hukum. Semua pura-pura buta,” kata seorang warga.

Media ini menantang aparat penegak hukum untuk membuktikan bahwa mereka masih bekerja untuk rakyat—bukan tunduk pada mafia. Jika tidak, sejarah akan mencatat: negara pernah dijual di pelabuhan kecil bernama Tanjung Gundap.

Fransisco Chrons

Must Read

Iklan
iklan

Related News