spot_img

Pemecah Batu Ilegal Nekat Beraksi Tak Jauh dari Polda Kepri

Batam, dutametro.com– Tak perlu jauh-jauh mencari bukti matinya penegakan hukum di Kepulauan Riau. Cukup berdiri di simpang tiga Jalan Hang Jebat, Nongsa—hanya selemparan batu dari Markas Polda Kepri—dan saksikan sendiri bagaimana alat berat memecah batu secara brutal, siang bolong, di depan hidung aparat.

Suara dentuman logam menghantam batu menggema tanpa henti, memekakkan telinga, seakan menjadi lagu kemenangan para pelanggar hukum yang tak tersentuh. Debu beterbangan, jalan bergetar, dan ancaman keselamatan publik dibiarkan menjadi tontonan harian.

Ironi ini memuakkan. Di lokasi yang seharusnya menjadi simbol kekuatan hukum, justru terhampar panggung bagi pelaku perusakan lingkungan untuk mengisi kantong mereka. Harga jual material hasil pemecahan—sekitar Rp800 ribu hingga Rp900 ribu per truk—mengalir deras, sementara aturan tinggal lembaran kertas yang tak berdaya.

Seorang warga, dengan nada geram namun meminta namanya dirahasiakan, menyebut ini “bukan lagi pelanggaran, tapi penghinaan terang-terangan terhadap hukum.” Pernyataan itu seperti tamparan bagi pihak yang seharusnya menjaga marwah penegakan aturan.

Pertanyaannya telak: Apakah aparat benar-benar tidak melihat? Atau mereka memilih menutup mata sambil menghitung keuntungan yang mengalir di balik layar?

Sementara rakyat kecil kerap jadi target razia hanya karena pelanggaran sepele, raksasa pengeruk keuntungan seperti ini justru bebas bernafas lega di bawah lindungan bayangan institusi penegak hukum.

Skandal di Nongsa ini bukan hanya meruntuhkan wibawa aparat, tapi juga mengirim pesan getir kepada publik: di Batam, hukum bisa dipreteli, diinjak, dan ditertawakan jika pelakunya punya koneksi cukup kuat.

Fransisco Chrons

Must Read

Iklan
iklan

Related News