spot_img

Rumah Singgah Perantau: Simbol Kemanusiaan di Tengah Kejamnya Kota

Jakarta, 1 Agustus 2025 — Jakarta adalah kota impian bagi banyak orang. Namun di balik gemerlapnya, ibu kota juga menyimpan sisi gelap: keterasingan, ketimpangan, dan kenyataan pahit bagi para perantau yang datang dengan harapan namun disambut kenyataan tak seindah rencana.

Di tengah riuh kehidupan kota yang semakin keras, kehadiran Rumah Singgah Perantau menjadi angin segar sekaligus simbol nyata kepedulian sosial yang semakin langka. Di saat banyak yang sibuk dengan urusan pribadi, masih ada segelintir orang yang mau membuka pintu rumah dan hatinya untuk mereka yang nyaris tak punya pilihan.

Adalah Hartanto, seorang perantau yang pernah merasakan getirnya bertahan hidup di Jakarta pasca pandemi COVID-19. Pengalaman pribadi yang sulit, diubahnya menjadi dorongan empatik untuk membantu sesama. Melalui Rumah Singgah Perantau yang ia dirikan sejak dua tahun lalu, sudah sekitar 35 orang perantau terbantu. Tak sekadar menyediakan tempat tinggal, rumah ini juga jadi tempat mencari harapan mendapatkan pekerjaan, dibantu bayar kontrakan, bahkan difasilitasi untuk pulang kampung.

Apa yang dilakukan Hartanto dan para relawan lainnya bukan sekadar amal, tapi bentuk nyata solidaritas yang makin langka di tengah masyarakat urban.

Yang lebih menggetarkan, Rumah Singgah Perantau tak hanya mengurusi soal perut dan tempat tidur. Mereka juga pernah turun tangan dalam kasus hukum. Seorang perantau berinisial R, yang menjadi korban penipuan, justru dijadikan tersangka karena keluguannya. Saat keluarga mulai menyerah, Rumah Singgah Perantau hadir sebagai perisai terakhir. Dengan bantuan Dodi Koto, pengacara sekaligus donatur utama, R akhirnya bebas dan bisa kembali ke kampung halamannya di Pariaman.

Kita boleh bertanya: di mana negara saat rakyatnya kesusahan seperti ini? Di mana peran lembaga sosial negara? Tapi di tengah kekosongan itu, Rumah Singgah Perantau muncul seperti pelita. Sebuah inisiatif swadaya masyarakat, lahir dari empati, bergerak karena rasa kemanusiaan.

Apa yang dilakukan Hartanto dan Dodi Koto adalah bentuk perlawanan terhadap dehumanisasi kota. Mereka menolak menjadi apatis. Mereka memilih menjadi jembatan bagi yang terjatuh, bukan penonton yang hanya mampu menggelengkan kepala.

Namun, kita tak bisa menutup mata bahwa mereka juga punya keterbatasan. Operasional rumah singgah ini hanya mengandalkan dana pribadi dan sedikit bantuan dari jaringan pertemanan. Ini jelas tak cukup untuk menopang beban sosial yang besar. Dibutuhkan keterlibatan lebih luas, baik dari pemerintah daerah, donatur, maupun komunitas masyarakat lainnya agar inisiatif seperti ini tak padam.

Saya percaya, kebaikan seperti ini tidak boleh berdiri sendiri. Ia harus dirawat, diperkuat, dan didukung. Karena Jakarta dan kota-kota besar lainnya masih akan terus menjadi magnet para perantau. Dan selama itu pula, akan selalu ada yang datang tanpa arah, tersesat tanpa tumpuan.

Maka selama itu pula, Rumah Singgah Perantau dan semangat kemanusiaan yang diusungnya harus terus dijaga.

Bagi Anda yang ingin memberikan dukungan, atau sedang mengalami kesulitan sebagai perantau, silakan kunjungi Rumah Singgah Perantau di Jl. Percetakan Negara IVB, Johar Baru, Jakarta Pusat, atau hubungi Hartanto di 0851-3896-9939.

Penulis : Hartanto

Must Read

Iklan
iklan

Related News