Padang – Pemerintah Kota Padang akan memasukkan pelaksaan tradisi Cheng Beng yakni mengunjungi makam untuk menghormati arwah leluhur di komunitas masyarakat Tionghoa Padang dalam kalender pariwisata Padang tahun 2025 mendatang.
Hal itu dikatakan Kepala Dinas Pariwisata Kota Padang Yudi Indra Sani saat menghadiri Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Sejarah Tradisi Kematian Tionghoa dan Potensinya sebagai Objek Wisata Budaya Spiritual di Kawasan Kota Tua Padang yang diadakan di Hotel & Convention Center Universitas Negeri Padang (UNP) pada Rabu (16/10).
“Kawasan Kota Tua Padang menyimpan kekayaan sejarah, termasuk keberadaan makam-makam tua yang merekam jejak masa lalu. Kita dukung pengembangan potensi kawasan ini sebagai destinasi wisata budaya spiritual,” katanya.
Ia menjelaskan, kalender pariwisata Padang adalah agenda tahunan yang akan dipergunakan sebagai sarana promosi wisata bagi Kota Padang.
“Apalagi setelah saya dengar, pelaksanaan Cheng Beng tanggalnya sudah ditentukan, yakni bulan April. Jadi, informasi pelaksanaannya bisa kita sosialisasikan jauh-jauh hari,” imbuhnya.
FGD mengenai tradisi kematian Tionghoa digelar oleh tim penelitian yang diketuai oleh Dr. Erniwati dengan anggota Dr. Adri Febrianti, Zul As’ri, Pasaribu, dan Ridho Bayu Yefterson yang merupakan dosen dari Program Studi Pendidikan Sejarah FIS UNP.
Hadir dalam diskusi tersebut Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat UNP, Prof. Dr. Anton Komaini, pengurus HTT, pengurus HBT, tokoh masyarakat Tionghoa Padang, praktisi pariwisata, dan perwakilan Klenteng See Hin Kiong.
Dalam sambutannya, Prof. Anton Komaini menegaskan pentingnya kolaborasi dalam mengembangkan wisata sejarah ini.
“Membangun wisata ini tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri. Alhamdulillah, diskusi ini dihadiri oleh pemerintah melalui Dinas Pendidikan dan Dinas Pariwisata. Dengan adanya sinergi, kita bisa merancang konsep wisata yang bisa diukur keberhasilannya dan berdampak baik bagi masyarakat luas,” ujarnya.
Ketua Penelitian Dr. Erniwati menjelaskan bahwa ritual kematian yang diselenggarakan oleh HBT dan HTT sejak masa kolonial hingga kini telah mengalami perubahan seiring perkembangan zaman.
Ia menyoroti potensi makam-makam tokoh Tionghoa yang tersebar di sepanjang perbukitan di seberang Sungai Batang Arau. Makam-makam ini memiliki arsitektur yang unik dan nilai sejarah tinggi, sehingga berpotensi dikembangkan sebagai wisata sejarah, budaya, dan spiritual.
“Sayangnya, jika tidak dilestarikan, tradisi kematian sebagai warisan budaya intangible dikhawatirkan akan semakin terkikis oleh perubahan zaman,” jelasnya. (Agil/Amaik/Charlie)