spot_img

Menguji Keadilan di balik Vonis Mati Nouval, Antara Hukum, Sosial, dan Nurani

Tanah Datar- Suasana hening bercampur tegang menyelimuti ruang sidang Pengadilan Negeri Tanah Datar ketika majelis hakim membacakan vonis terhadap dua terdakwa dalam kasus pembunuhan keji yang menewaskan seorang anak tak berdosa, Cinta Novita Sari. Vonis itu menggetarkan nurani banyak orang: hukuman mati dijatuhkan kepada terdakwa Noval, sementara Bima dijatuhi pidana penjara selama 18 tahun.

Tepuk tangan dan tangis pecah bersamaan. Di satu sisi, masyarakat yang mengikuti kasus ini merasa lega, seakan keadilan telah ditegakkan. Di sisi lain, sebagian pihak menahan napas, menyadari bahwa di balik palu hakim yang diketukkan, selalu ada ruang refleksi: apakah vonis mati benar-benar mencerminkan keadilan, atau sekadar bentuk balasan yang emosional?

Kasus ini bukan sekadar perkara kriminal, melainkan cermin wajah hukum Indonesia di tengah desakan publik yang haus akan keadilan. Reaksi masyarakat Tanah Datar menunjukkan betapa hukum di negeri ini bukan hanya teks undang-undang, tetapi juga bagian dari kehidupan sosial yang sarat nilai dan perasaan.

Seperti disampaikan Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Tanah Datar, Handika Wiradi Putra, S.H., M.H., seusai sidang,

“Jaksa tetap pada tuntutan sebelumnya, yakni hukuman mati untuk Noval dan 20 tahun untuk Bima. Tapi karena terdakwa mengajukan banding, kita tunggu proses di tingkat pengadilan berikutnya.”

Pernyataan ini menegaskan dua hal: pertama, bahwa vonis belum inkrah, dan kedua, bahwa proses hukum masih berjalan dalam koridor yang dijamin undang-undang. Namun di luar itu, publik terlanjur menilai — keadilan seakan telah “terpenuhi” lewat putusan mati.

Apakah benar demikian?

2. Analisis Hukum: Antara Keadilan Formil dan Substansial

Dalam konteks hukum pidana Indonesia, pembunuhan berencana diatur dalam Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dengan ancaman maksimal pidana mati atau seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 tahun. Artinya, vonis yang dijatuhkan majelis hakim kepada terdakwa Noval memiliki dasar hukum yang jelas.

Namun, dalam kerangka asas keadilan substantif, penerapan pidana mati selalu menimbulkan dilema. Di satu sisi, ia memberikan efek jera dan rasa keadilan bagi korban. Di sisi lain, ia memunculkan perdebatan moral dan yuridis tentang hak hidup yang dijamin konstitusi.

Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa hak untuk hidup merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Di sisi lain, Pasal 10 KUHP masih menempatkan hukuman mati sebagai salah satu jenis pidana pokok. Inilah kontradiksi hukum yang hingga kini belum selesai.

Dari perspektif Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum serta rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat 1). Artinya, hakim tidak semata-mata menjalankan hukum positif, tetapi juga menimbang nilai sosial dan moral yang berkembang di tengah publik.

Dalam perkara ini, majelis hakim tampaknya menyeimbangkan dua dimensi itu — hukum positif dan rasa keadilan publik. Namun, dari perspektif prinsip due process of law, perlu dicermati sejauh mana hak-hak terdakwa terlindungi dalam proses peradilan. Apakah semua bukti, keterangan, dan saksi telah diuji dengan seksama? Apakah proses penyidikan dan penuntutan benar-benar bebas dari tekanan opini publik?

Sebagai seorang advokat, saya berpandangan bahwa keadilan tidak boleh dikendalikan oleh emosi massa. Keadilan hukum harus tetap berdiri di atas prinsip objektivitas dan kepastian prosedural. Karena jika hukum hanya menjadi alat pemuas dendam sosial, maka ia akan kehilangan makna moralnya.

3. Analisis Sosial: Luka Kolektif dan Bayangan Kekerasan

Kasus ini mengguncang Tanah Datar bukan hanya karena kekejamannya, tetapi karena korbannya adalah anak kecil — simbol kemurnian dan ketidakberdayaan. Dalam konteks sosial, pembunuhan terhadap anak menimbulkan trauma kolektif. Masyarakat tidak hanya berduka, tetapi juga merasa kehilangan rasa aman.

Vonis mati terhadap Noval dianggap sebagai bentuk “penebusan moral” bagi publik. Namun, apakah vonis itu benar-benar menyembuhkan luka sosial? Ataukah hanya menenangkan amarah sesaat?

Secara sosiologis, sistem peradilan pidana di Indonesia masih menghadapi dilema antara pendekatan retributif (pembalasan) dan pendekatan restoratif (pemulihan). Teori restorative justice menekankan bahwa tujuan utama hukum bukan hanya menghukum pelaku, tetapi juga memulihkan keseimbangan sosial, memulihkan korban, dan memberi kesempatan rehabilitasi bagi pelaku.

Dalam konteks kasus ini, tentu pendekatan restoratif tampak sulit diterapkan karena beratnya kejahatan yang dilakukan. Namun prinsip dasarnya tetap relevan: keadilan harus membangun kesadaran, bukan sekadar menghabisi nyawa.

Publik di Tanah Datar, dalam percakapan sehari-hari, sering menilai bahwa hukuman mati adalah satu-satunya cara untuk “menegakkan keadilan”. Pandangan ini wajar dalam masyarakat yang terluka. Tetapi hukum tidak boleh kehilangan kebijaksanaannya. Jika keadilan hanya dimaknai sebagai pembalasan, maka hukum akan kehilangan wajah manusianya.

4. Analisis Keadilan: Antara Hukum dan Nurani

Teori keadilan John Rawls menyebutkan bahwa keadilan adalah kejujuran dalam menegakkan aturan yang disepakati bersama, bukan semata hasil dari perasaan moral. Sementara Gustav Radbruch, seorang filsuf hukum Jerman, menegaskan bahwa hukum yang tidak adil bukanlah hukum. Dengan kata lain, hukum dan keadilan harus berjalan beriringan.

Pertanyaan mendasar dalam vonis mati adalah: apakah negara berhak mencabut nyawa seseorang atas nama keadilan?

Sebagian pakar menilai bahwa hukuman mati merupakan bentuk pertanggungjawaban mutlak bagi kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Namun, dari sisi hak asasi manusia, hukuman mati sering dianggap melanggar prinsip kemanusiaan dan tidak memberi ruang perbaikan bagi pelaku.

Sebagai seorang praktisi hukum dan wartawan, saya melihat putusan ini dari dua kaca mata. Dari sisi hukum positif, majelis hakim memiliki dasar kuat menjatuhkan vonis mati berdasarkan Pasal 340 KUHP. Tetapi dari sisi keadilan moral, kita harus bertanya: apakah dengan menghilangkan satu nyawa akan menghadirkan kedamaian bagi semua?

Keadilan sejati adalah ketika masyarakat tidak hanya merasa puas dengan hukuman, tetapi juga memahami akar persoalan sosial yang melahirkan kejahatan itu. Ketika seseorang membunuh, kita harus berani menelusuri mengapa kebencian, kekerasan, dan kehilangan empati bisa tumbuh di tengah kita.

Keadilan yang sejati bukan hanya memotong rantai kejahatan, tapi juga menyembuhkan luka sosial yang melahirkannya.

5. Penutup: Refleksi Advokat dan Wartawan

Vonis mati terhadap Noval dan 18 tahun bagi Bima adalah refleksi atas dilema besar yang selalu dihadapi peradilan kita: antara memenuhi rasa keadilan masyarakat atau menegakkan prinsip kemanusiaan universal. Keduanya seringkali tidak berjalan seiring, tapi di situlah tugas hukum diuji.

Sebagai seorang advokat, saya menghormati putusan majelis hakim dan integritas para jaksa, termasuk Handika Wiradi Putra, S.H., M.H., yang tetap konsisten pada tuntutan awal sesuai peraturan hukum yang berlaku. Namun sebagai wartawan hukum, saya juga berkewajiban mengingatkan bahwa keadilan sejati tidak berhenti di ruang sidang.

Hukum harus menjadi alat pendidikan sosial. Ia harus mampu menumbuhkan kesadaran bahwa setiap kejahatan berakar dari hilangnya nilai kemanusiaan. Maka ketika hukum menjatuhkan pidana, yang dicari bukan hanya pembalasan, melainkan juga pelajaran moral bagi masyarakat.

Kita berharap proses banding di Pengadilan Tinggi Sumatera Barat nantinya tidak sekadar menguji keabsahan putusan, tetapi juga menjadi ruang refleksi tentang arah penegakan hukum yang lebih adil, manusiawi, dan berkeadaban.

Sebab, keadilan sejati tidak pernah berhenti di ujung palu hakim — ia terus hidup di hati masyarakat yang percaya bahwa hukum adalah jalan menuju kemanusiaan.

Oleh: Joni Hermanto, S.H.

Advokat dan Wartawan Kompetensi Utama

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Must Read

Iklan
Iklan
Iklan
Iklan
iklan

Related News