Malang, dutametro.com – Di bawah naungan langit biru dan sejuknya semilir angin pegunungan Bromo-Semeru, Poncokusumo kembali memantulkan wajah sejatinya: teduh, ramah, dan penuh kehangatan.
Lapangan Dusun Drigu Desa Poncokusumo menjadi saksi hidupnya salah satu rangkaian tradisi Bersih Desa. Yakni, sebuah laku syukur warisan leluhur yang dirajut dengan doa, budaya, dan kebersamaan.
Ratusan warga dari 11 RW tumplek blek, menyatu tanpa sekat dan menikmati sajian penuh makna dalam acara “Dahar Sesarengan” atau makan bersama.
Tak sekadar soal pangan, ini tentang mengenang rasa, merawat kenangan, dan meneguhkan jati diri.
Warisan Rasa, Warisan Cinta
Puluhan stand kuliner khas desa berdiri rapi, menggoda selera dan membangkitkan ingatan akan masa kecil. Ada tiwul dan gatot, polo Pendem, sego jagung, cenil warna-warni, gethuk legit, kolak manis, hingga jamu tradisional yang harum rempahnya menyusup ke dalam sukma.
Setiap suapan bukan sekadar kenyang, melainkan napak tilas pada akar budaya: rasa syukur terhadap bumi, rasa hormat pada leluhur, dan rasa cinta pada tanah kelahiran.
“Dahar Sesarengan ini bukan hanya soal makan, tapi soal rasa,” tutur Samsul Mulio, Kepala Desa Poncokusumo, dengan mata berbinar. “Rasa hormat, rasa syukur, dan rasa cinta. Dari sinilah, kita belajar bahwa kebersamaan adalah warisan paling indah dari leluhur kita.” ungkapnya dengan penuh sukacita.
Acara ini terasa kian istimewa dengan kehadiran Bupati Malang, Drs. H. M. Sanusi, M.M., yang duduk bersahaja di tengah-tengah warga. Tanpa jarak, beliau ikut menyantap hidangan desa dengan penuh keakraban.
Dalam sambutannya, Bupati Sanusi menegaskan makna spiritual di balik tradisi ini, “Dahar Sesarengan bukan sekadar budaya, ini adalah tuntunan. Rasulullah SAW mengajarkan bahwa sedekah akan membuka pintu rezeki. Maka, makan bersama ini adalah sedekah rasa, sedekah kebersamaan, dan sedekah persaudaraan.” ujarnya.
Beliau juga menitipkan pesan khusus kepada Kades Samsul Mulio, “Nama panjenengan itu indah sekali, Pak Samsul: matahari kemuliaan. Jadilah cahaya kemuliaan bagi seluruh warga Poncokusumo,” terangnya berharap pada sosok kepala desa dari sebuah kawasan yang masyarakatnya masih kental dengan tradisi bromo-semeru.
Seni, Doa, dan Penyatuan Generasi
Kemeriahan acara tak hanya di meja makan. Lapangan desa menjadi panggung terbuka seni dan budaya. Anak-anak berlarian dengan ikat kepala sederhana, para sesepuh tampil anggun dalam kebaya dan batik klasik, sementara para pria mengenakan pakaian adat Tengger lengkap dengan udeng hitam khas Poncokusumo. Tabuhan gamelan dan lantunan tembang Jawa menyelimuti udara, membawa semua yang hadir pada suasana nostalgia—seolah waktu kembali berkisah, membiarkan tradisi berbicara dengan lembut.
Menjelang senja, doa penutup dipimpin oleh Kaur Kesra Suwanto. Ratusan kepala menunduk khidmat, tangan-tangan terangkat, memohon berkah pada Tuhan Yang Maha Esa agar desa tetap diberi keselamatan, keberkahan, dan persatuan.
Merawat Tradisi, Menyulam Masa Depan
Bersih Desa bukan sekadar ritual tahunan. Ia adalah jembatan antara masa lalu dan masa depan. Di tengah laju modernisasi, Poncokusumo memilih untuk tidak melupakan akarnya.
Dahar Sesarengan menjadi ruang di mana generasi tua dan muda bertemu, saling merangkul, dan mengikat janji tak tertulis: menjaga warisan budaya agar tetap hidup, bukan hanya di panggung acara, tetapi juga di dalam hati.
Hari itu, Poncokusumo terasa lengkap—bersih bukan hanya tanahnya, tapi juga hatinya. Bersih dalam syukur, bersih dalam kebersamaan, bersih dalam cinta pada tradisi.
(sG)