Bukittinggi,dutametro.com.— Dilansir dari BMC News, kasus dugaan penganiayaan terhadap Ketua LSM Garuda NI DPW Sumbar sekaligus wartawan, Bj. Rahmad, yang diduga dilakukan oleh mantan Sekretaris Daerah Kabupaten Agam, EB, menurut praktisi hukum, Dr (c). Riyan Permana Putra, SH, MH bukan sekadar peristiwa kriminal biasa. Peristiwa ini menurutnya mengandung indikasi dugaan kuat kekerasan, intimidasi, dan konflik kepentingan yang berpotensi mencederai prinsip negara hukum dan kebebasan pers.
Riyan Permana Putra yang juga merupakan eks Ketua Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya Kabupaten Agam, menambahkan bahwa tindakan yang diduga mencolok mata korban hingga mengakibatkan luka dan gangguan penglihatan, apabila terbukti secara hukum, merupakan tindak pidana penganiayaan serius sebagaimana diatur dalam Pasal 351 KUHP.
“Fakta bahwa korban telah melakukan visum et repertum di RSUD Lubuk Basung dan melaporkan kejadian ini ke Polres Agam memperkuat adanya peristiwa hukum yang tidak dapat dipandang remeh,” tambahnya.
Lebih jauh, Riyan Permana Putra yang juga merupakan Direktur Media Bukittinggi Agam melanjutkan bahwa kasus ini patut didalami dalam konteks dugaan intimidasi terhadap aktivis dan wartawan. Korban menjalankan fungsi kontrol sosial dengan menindaklanjuti laporan masyarakat terkait proyek Peningkatan Ruas Jalan Dama Gadang dan Ujung Guguak bernilai hampir Rp16 miliar. Pemanggilan korban ke suatu lokasi, disertai dugaan bentakan, ancaman, hingga ada dugaan kekerasan fisik, berpotensi merupakan upaya menghalangi kerja jurnalistik dan advokasi publik, yang dilarang tegas oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, lanjutnya.
Riyan Permana Putra yang merupakan Ketua Forum Pers Indonesia Independen Indonesia Korwil Bukittinggi Agam dan juga Ketua Bidang Hukum Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Sumatera Barat menegaskan bahwa dugaan pernyataan bahwa proyek “tidak boleh diganggu” karena adanya hubungan kekerabatan dan relasi personal menimbulkan indikasi konflik kepentingan dan dugaan beking proyek.
“Ini adalah alarm serius bagi penegak hukum untuk tidak hanya berhenti pada aspek penganiayaan, tetapi juga menelusuri relasi kuasa, dugaan potensi penyalahgunaan pengaruh, serta transparansi pelaksanaan proyek publik tersebut,” tegasnya.
Riyan Permana Putra menjelaskan bahwa penanganan perkara ini menjadi ujian integritas aparat penegak hukum. Status terlapor sebagai mantan pejabat daerah tidak boleh menjadi tameng impunitas. Hukum harus berdiri tegak tanpa pandang bulu. Ketika kritik dan pengawasan dibalas dengan kekerasan, maka yang terancam bukan hanya korban, tetapi demokrasi dan keadilan itu sendiri, jelasnya.
Seruan Persatuan Wartawan Agam
Sehubungan dengan peristiwa ini, Riyan Permana Putra menyerukan persatuan seluruh wartawan di Kabupaten Agam untuk bersikap solid, bermartabat, dan tetap berada dalam koridor hukum serta Kode Etik Jurnalistik.
Persatuan wartawan bukan untuk membela individu, melainkan untuk menjaga marwah profesi pers, melindungi kebebasan jurnalistik, dan memastikan kerja pers berjalan sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, Kode Etik Jurnalistik, serta mekanisme penyelesaian sengketa pers yang sah, terangnya.
Perbedaan media, organisasi, dan latar belakang tidak boleh dijadikan alasan untuk saling melemahkan. Ancaman terhadap satu wartawan adalah ancaman terhadap kebebasan pers secara keseluruhan. Oleh karena itu, solidaritas pers harus dibangun di atas prinsip profesionalisme, akurasi, dan kepatuhan terhadap hukum — bukan emosi atau kepentingan sesaat, ungkapnya.
Kami menegaskan, kontrol sosial oleh LSM dan pers adalah hak konstitusional, bukan tindak pidana. Setiap bentuk intimidasi dan kekerasan harus diproses secara objektif, transparan, dan akuntabel, demi menjaga kepercayaan publik dan marwah penegakan hukum di Sumatera Barat, tukasnya.
Hukum tidak boleh kalah oleh kekuasaan, dan kekerasan tidak boleh menjadi alat membungkam kebenaran, tutupnya.
( Zlk)*


