Bengkulu – Perusahaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara Teluk Sepang PT Tenaga Listrik Bengkulu dinilai tidak mampu mengendalikan tiga dampak lingkungan yang muncul dan merugikan serta meresahkan masyarakat Bengkulu.
Tiga dampak lingkungan yang dimaksud adalah dampak jaringan Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) di wilayah Desa Padang Kuas, Seluma, dampak kolam air bahang terhadap pendangkalan alur Pelabuhan Pulau Baai, dan dampak pembuangan limbah pembakaran batubara berupa Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) ke 13 titik dalam wilayah Kota Bengkullu dan Bengkulu Tengah.
Hal ini mengemuka dalam pemaparan hasil penelitian dampak operasi PLTU batubara Teluk Sepang oleh para akademisi, yang dihadiri kalangan media, mahasiswa dan masyarakat korban terdampak proyek PLTU batubara Teluk Sepang.
Akademisi Universitas Muhammadiyah Bengkulu (UMB) Ayu Wijayanti, M.Si yang meneliti perubahan sosial akibat jaringan SUTT PLTU batubara Teluk Sepang di Desa Padang Kuas menemukan bahwa warga telah mengalami kecemasan tinggi akibat fenomena petir yang mengakibatkan seratusan alat elektronik rusak dan sejumlah warga tersengat listrik.
“Jadi ruang aman dan nyaman warga Desa Padang Kuas sudah hilang sejak proyek SUTT ini beroperasi, dan hasil penelitian menunjukkan 100 persen koresponden yang diteliti mengalami tingkat kecemasan tinggi,” kata Ayu Wijayanti, M.Si.
Perilaku masyarakat yang diteliti Ayu juga menunjukkan perubahan di mana warga mengalami kecemasan dan trauma saat hujan melanda Desa Padang Kuas.
Dampak lain yang muncul adalah akibat keberadaan kolam pembuangan air bahang. Lokasi kolam ini tidak jauh dari pintu alur Pelabuhan Pulau Baai yang telah diteliti oleh akademisi Universitas Bengkulu Dedy Bachtiar yang menemukan dampak struktur bangunan kolam air bahang memperparah pendangkalan alur Pelabuhan Pulau Baai.
“Pendangkalan alur ini sudah tentu menimbulkan dampak ekonomi yang serius bagaimana pasokan BBM bisa terhambat dan bagaimana warga Pulau Enggano menjerit karena kapal tidak bisa berlayar,” katanya.
Sementara dampak limbah abu pembakaran batubara atau FABA mengakibatkan sumur warga Air Sebakul Kota Bengkulu diduga tercemar.
Dosen Universitas Bengkulu, Liza Lidiawati,S.Si., M.Si memaparkan hasil uji laboratorium terhadap enam sampel air menunjukkan kadar Chemical Oxygen Demand (COD) jauh melebihi baku mutu yang ditetapkan, yaitu 10 mg/L. Sampel dari sumur galian mencatatkan nilai tertinggi sebesar 128 mg/L, sementara sumur bor menunjukkan 32 mg/L. Bahkan, air dari genangan di sekitar lokasi warga mencapai 192 mg/L, mengindikasikan pencemaran serius.
Akademisi UMB, Aan Zulyanto, S.E., M.Si mengatakan bahwa berdasarkan studi tim peneliti partisipatif menyimpulkan bahwa dampak lingkungan akibat operasi PT Tenaga Listrik Bengkulu tidak dapat dikendalikan perusahan sebagaimana seharusnya dijawab dengan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi menyeluruh dokumen AMDAL untuk memastikan dampak yang diidentifikasi dan diantisipasi.
Pessi Apriani, warga korban SUTT di Desa Padang Kuas mengatakan, sejak awal beroperasi pada tahun 2019 tidak ada sosialisasi dampak jaringan SUTT tersebut kepada warga.
“Kami tidak pernah diberitahu dampaknya dan kami sudah melaporkan apa yang kami alami kepada perusahaan dan pemerintah tapi tidak ada tindakan yang mampu menjawab keresahan masyarakat,” kata Pessi.
Warga mendesak instansi terkait segera melakukan investigasi, penegakan hukum, dan pemulihan lingkungan untuk menjamin kesehatan dan keselamatan warga.
Ketua Kanopi Hijau Indonesia Ali Akbar menilai dampak yang ditimbulkan perusahahaan ini memunculkan dua pertanyaan yaitu apakah dokumen AMDAL tidak mampu mengendalikan dampak lingkungan atau justru PT TLB tidak mematuhi pengelolaan lingkungannya.
“Ini membuktikan bahwa PT TLB tidak mampu mengendalikan dan mengatasi dampak yang dirasakan. Hingga saat ini, belum ada tindakan dari perusahaan untuk merespon dan mengatasi dampak ini,” katanya.