Pasaman — Di balik slogan “Pasaman Bangkit”, tersembunyi ironi pendidikan yang memuakkan. Lima siswa SMK yang seharusnya belajar ilmu jaringan komputer di Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Kabupaten Pasaman justru dijadikan buruh kandang ayam oleh pejabat di dinas itu sendiri.
Alih-alih ditempatkan di ruang teknologi, kelima pelajar malang tersebut malah dipaksa mengangkut pakan ternak, mengurus kandang, hingga membersihkan kotoran ayam—semua itu dilakukan di luar jam sekolah, di lokasi usaha pribadi milik pejabat. Tak hanya itu, mereka juga mengaku hanya diberi makan ala kadarnya, bahkan kadang hanya ayam sakit.
“Kami disuruh kerja dari pagi sampai sore. Tidak ada pelatihan komputer. Hanya urus kandang ayam. Kami tidak tahu harus lapor ke siapa,” ungkap salah satu siswa yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Berdasarkan informasi dan pengakuan yang dihimpun oleh LSM P2NAPAS (Perkumpulan Pemuda Nusantara Pas-Aman), kegiatan pemaksaan tersebut terjadi di kawasan Batuang Baririk, Nagari Tanjung Baringin Delapan, Kecamatan Lubuk Sikaping. Lebih parah lagi, perintah itu disebut datang langsung dari Kabid Teknologi dan Informasi Dinas Kominfo Pasaman, yang juga merupakan pemilik usaha ternak ayam tersebut.
“Ini bukan lagi penyimpangan biasa, ini adalah eksploitasi sistemik yang dilakukan oleh seorang pejabat publik terhadap anak di bawah umur,” tegas Ahmad Husein Batu Bara, Ketua Umum LSM P2NAPAS.
Mengetahui kejadian ini, LSM P2NAPAS langsung melayangkan surat resmi kepada Bupati Pasaman, menuntut klarifikasi sekaligus pertanggungjawaban. Mereka mempertanyakan lemahnya sistem pengawasan terhadap siswa PKL di lingkungan Pemkab, yang justru membuka celah bagi penyalahgunaan wewenang oleh oknum tak bertanggung jawab.
“PKL adalah instrumen pendidikan untuk mencetak generasi profesional, bukan ladang tenaga kerja gratis bagi pejabat yang rakus. Ini bentuk pembusukan moral birokrasi,” kecam Husein.
LSM menilai, jika hal ini dibiarkan, maka akan menjadi preseden berbahaya yang menormalisasi penyimpangan sistemik terhadap siswa. Bahkan, mereka menyebut kejadian ini sebagai bentuk pengkhianatan terhadap semangat pendidikan nasional.
P2NAPAS menyatakan akan menempuh jalur hukum. Mereka menilai tindakan ini telah memenuhi unsur pidana eksploitasi anak, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang menyebutkan bahwa:
“Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari eksploitasi ekonomi dan/atau seksual. Pelaku dapat dikenakan sanksi pidana berat.”
“Kami akan tempuh segala upaya hukum yang ada. Ini bukan sekadar kasus pelanggaran etika birokrasi, ini kriminal murni,” tegas Husein.
Ironi tak berhenti di situ. Slogan “Pasaman Bangkit” yang terus digembar-gemborkan, kini berbalik menjadi cermin buram. Di tengah ambisi daerah untuk bangkit dan maju, justru siswa-siswa yang menjadi harapan masa depan dipaksa menjadi buruh oleh aparatnya sendiri.
“Pasaman tidak akan bangkit jika moral aparatnya ambruk. Ini alarm keras untuk seluruh pemimpin daerah. Jangan biarkan pendidikan jadi korban kerakusan,” tegas Husein.
Kasus ini membuka luka lebar tentang bagaimana program PKL sering kali hanya dianggap formalitas oleh institusi pemerintah. Celah pengawasan yang longgar, minimnya evaluasi, serta lemahnya perlindungan terhadap siswa membuat mereka rentan dieksploitasi.
Hingga berita ini ditayangkan media ini masih menghubungi pihak terkait lainnya.
Tim