Editorial REDILOG
Penulis: Oleh Andrio An
Ada masa ketika guru disebut “pahlawan tanpa tanda jasa.” Tapi kini, tampaknya, mereka justru menjadi “tertuduh tanpa pembela.” Kasus Kepala SMAN 1 Cimarga di Lebak, Banten, adalah potret getir itu: seorang pendidik yang dihukum bukan karena lalai, melainkan karena berani mendidik. Ironi yang begitu absurd hingga logika pun tergelincir di tangga birokrasi.
Mari kita kuliti persoalan ini dengan pisau **REDILOG** — *Realisme, Dialektika, dan Logika*.
**Realisme-nya**, begini: seorang siswa merokok di sekolah. Kepala sekolah menegur dan menegakkan disiplin. Orang tua tidak terima, melapor ke aparat. Pemerintah daerah buru-buru bereaksi. Hasilnya? Sang kepala sekolah “dihukum.” Di negeri yang waras, guru seperti ini mestinya dipeluk, bukan dipukul. Tapi kita hidup di zaman di mana kebenaran bisa kalah oleh laporan WhatsApp dan opini murahan di media sosial.
Lalu, **dialektikanya**, lebih dalam lagi: kita dihadapkan pada benturan nilai antara *otoritas moral pendidikan* dan *sensitivitas sosial instan*. Guru ingin mendidik dengan ketegasan, tapi publik ingin segalanya serba lembut — bahkan terhadap pelanggaran. Ketika disiplin diartikan sebagai kekerasan, dan pembinaan dianggap penghinaan, maka dialektika pendidikan berubah menjadi drama emosional. Padahal, tanpa tegangan antara kasih dan ketegasan, tak akan pernah lahir generasi tangguh.
Dan akhirnya, **logikanya**: pendidikan bukan panti pijat moral. Ia bukan tempat anak dimanjakan agar selalu nyaman. Sekolah adalah ruang tempa — tempat logika diuji, kesalahan dikoreksi, dan karakter dibentuk lewat gesekan nilai. Guru bukan musuh, tapi cermin. Dan cermin tak bisa disalahkan hanya karena menampakkan wajah kotor.
Ketika kepala sekolah yang menegakkan disiplin justru dihukum, kita sedang menyaksikan degradasi logika publik. Pemerintah seolah lebih takut pada opini ketimbang kehilangan integritas. Padahal, tugas negara bukan menyenangkan hati semua orang, tapi menegakkan kebenaran meski tidak populer.
Dalam kacamata *REDILOG*, ini adalah *anomali pendidikan dialektis*: ketika sistem melawan fungsinya sendiri. Guru yang mengoreksi kesalahan dianggap pelaku; sementara orang yang melaporkan justru mendapat simpati. Ini bukan lagi tragedi, tapi parodi moral.
Pemerintah daerah dan Dinas Pendidikan semestinya menjadi penyangga wibawa sekolah, bukan pelucutnya. Hukuman kepada kepala sekolah berarti mengirim pesan salah kepada publik: bahwa disiplin tak lagi penting, dan bahwa keberanian menegakkan aturan bisa berujung hukuman administratif. Kalau begitu, untuk apa sekolah repot menegakkan tata tertib?
Negeri ini butuh regulasi baru — bukan untuk membatasi guru, tapi melindungi mereka dari kebodohan sistemik. Karena kalau setiap tindakan pembinaan dikriminalisasi, besok-besok tak akan ada lagi guru yang berani berkata “tidak.” Dan saat itu tiba, kita akan punya sekolah tanpa jiwa, ruang kelas tanpa wibawa, dan murid-murid tanpa arah.
Lihatlah, bagaimana logika pendidikan kita terbalik: yang salah disayang, yang benar ditendang. Kita lupa bahwa pendidikan sejatinya adalah proses panjang untuk belajar menerima konsekuensi. Menghukum guru karena mendidik sama saja dengan mematikan matahari karena terlalu panas.
Jadi, sebelum kita menuntut anak-anak untuk berkarakter, tanyakan dulu: adakah keberanian dalam sistem ini untuk menegakkan kebenaran? Karena mendidik bukan soal memberi nilai di rapor, tapi memberi nilai dalam hidup.
**Sekolah bukan tempat membesarkan ego, tapi menundukkan kesombongan.**
Dan jika guru dihukum karena mendidik, maka sesungguhnya bangsa ini sedang menghukum dirinya sendiri.
Kalimat pamungkas khas *REDILOG*:
> “Ketika logika tak lagi memimpin realitas, maka kebodohan akan tampak seperti kebijaksanaan, dan kebenaran hanya tinggal slogan di spanduk murahan.” — *Andrio An, REDILOG.*
Baik. Berikut tambahan **tinjauan filosofis ala *Catatan REDILOG*** — versi *nakal cendekia* khas Andrio An, yang memperdalam akar ide dan menyatukan tiga fondasi *Realisme, Dialektika, dan Logika* dengan konteks sosial pendidikan hari ini:
**Catatan REDILOG**
*Realisme, Dialektika, dan Logika di Balik Tragedi Guru yang Dihukum karena Mendidik*
Realisme mengajarkan kita untuk menatap dunia sebagaimana adanya — bukan sebagaimana seharusnya. Dalam realitas pendidikan hari ini, sekolah bukan lagi benteng nilai, tapi panggung pencitraan. Guru yang seharusnya menjadi figur moral kini digiring menjadi aktor administratif yang harus hati-hati berbicara, takut salah menegur, khawatir disalahpahami. Pendidikan berubah menjadi teater sosial: yang tampil bukan lagi kebenaran, tapi kepura-puraan yang disponsori oleh birokrasi dan media.
Dalam dialektika, setiap pertentangan seharusnya melahirkan kesadaran baru. Tapi sayangnya, konflik antara guru dan orang tua hari ini tidak melahirkan kesadaran — hanya melahirkan kebisingan. Padahal dialektika sejati adalah ruang refleksi, bukan ruang lapor. Guru menegur bukan untuk menindas, tapi untuk menumbuhkan. Namun, ketika masyarakat kehilangan kemampuan berdialektika — kehilangan kemampuan untuk berpikir di luar perasaan — maka setiap teguran akan terasa seperti kekerasan, dan setiap disiplin akan tampak seperti penindasan.
Dan di sinilah logika, pilar ketiga *REDILOG*, berteriak lirih di tengah absurditas. Logika tidak butuh keberpihakan, ia hanya menuntut konsistensi: kalau kita menginginkan pendidikan karakter, maka konsekuensinya adalah ketegasan. Kalau kita menginginkan generasi tangguh, maka konsekuensinya adalah pembiasaan disiplin. Tidak mungkin membentuk baja dari kapas. Tidak mungkin menempah tanggung jawab dengan rasa manja.
Dalam kerangka *REDILOG*, tragedi SMAN 1 Cimarga bukan sekadar soal guru dan murid, tapi soal **pergeseran logika sosial**. Ketika moral direduksi menjadi perasaan, hukum kehilangan nurani, dan pendidikan kehilangan nyali. Padahal, bangsa ini hanya bisa maju jika keberanian berpikir dan keberanian mendidik tetap dipelihara — meski kadang harus melawan arus populisme murahan.
Maka biarlah editorial ini menjadi seruan kecil dari *REDILOG*:
> “Realisme menuntun mata kita melihat kenyataan, Dialektika menuntun pikiran kita menimbang kebenaran, dan Logika menuntun hati kita bertindak dengan keberanian.”
Dan bila suatu hari guru kembali berani menegur murid tanpa takut dihukum, maka saat itulah pendidikan kembali menjadi cahaya — bukan sekadar slogan di baliho dinas.**