SEMARANG ,dutametro.com.-Puluhan Warga Taman Marina Mengeluh, Sertifikat HGB Tidak Bisa Diagunkan di BANK. Ribuan penduduk yang mendiami kawasan sekitar PRPP ( Pusat Rekreasi dan Promosi Pembangunan) atau biasa dikenal kawasan sekitar marina, tanpa terkecuali warga taman marina Kelurahan Tawangsari Kecamatan Semarang Barat Kota Semarang mengeluh. Pasalnya rumah yang ia tempati sertipikatnya tidak bisa dijaminkan di Bank, karena Sertipikat HGB ( Hak Guna Bangunan) yang ia miliki tidak dapat diperpanjang oleh Pemprov Jawa tengah sejak 2018.
Menurut pengakuan sejumlah warga Taman Marina Kelurahan Tawangsari, Kecamatan Semarang Barat, SHGB yang mereka miliki tidak dapat diperpanjang sejak tahun 2018. Sejak saat itu, Anisitus A Gaham, SH, Sp.N selaku yang dipercaya untuk mengurus persoalan tersebut memperjuangkan agar SHGB dapat diperpanjang dan diperbarui.
Menurut Anis biasa dipanggil, lahan di kawasan sekitar PRPP seluas kurang lebih 1000 hektar, 98 persen merupakan HGB diatas HPL diantaranya Taman Marina di Kelurahan Tawangsari, Kecamatan Semarang Barat, yang SHGB nya tidak dapat diperpanjang.
Ia menjelaskan, lahan yang mereka tempati ternyata HGB diatas HPL. Menurut Anis perusahaan swasta yang mengadakan perjanjian dengan Pemprov Jateng yaitu pengelolaan tanah dengan hak mendapat manfaat selama 75 tahun, dalam perjanjian itu tidak ikut ditandatangani warga, maka menurut pasal 1340 KUH Perdata, perjanjian itu tidak berlaku mengikat, tetapi hanya berlaku mengikat pihak-pihak yang menandatangani perjanjian itu.
Namun kenyataannya semua Eks SHGB tersebut tidak bisa dialihkan atau dijaminkan ke bank oleh karena status hukum haknya sejak tahun 2018 lalu sudah menjadi tanah negara bekas hak yang tidak lagi memenuhi syarat sebagai obyek jaminan dengan dibebani Hak Tanggungan untuk menjamin pelunasan kredit bank yang sangat diperlukan warga untuk biaya usaha, ongkos sekolah dan kuliah anak-anak mereka.
“Menurut hukum, HPL hanya kewenangan negara atau pemegang HPL untuk mengatur atau merencanakan peruntukan dan pemanfaatan tanah sesuai pasal 7 PP 18/2021 dan bukan pemilik tanah dan apalagi Pemprov Jateng dalam kasus ini bukan pemilik dari semua bangunan permanen yang sudah merupakan milik pribadi para warga. Para warga memiliki tanah dan/atau bangunan permanen di atasnya sesuai prosedur hukum jual beli tanah dan bukan sewa atau diberi gratis oleh Pemprov selaku pemegang HPL. Oknum Pemprov Jateng tidak paham hukum tanah HPL sebagai kewenangan mengatur dan bukan pemilik dan bahkan Pemrov Jateng tidak paham kalau bidang tanah-tanah HPL bukan aset negara atau daerah oleh karena tanah HPL tidak bisa dijual atau dijaminkan,” katanya. Senin (1/5/2023).
Lebih lanjut mengatakan, jadi secara hukum, tanah HPL baru menjadi aset negara atau daerah kalau sudah terbit sertipikat hak atas tanah atas nama Pemprov Jateng selaku pemegang/pemilik HPL.
“Sertipikat HPL bukan bukti hak atas tanah sesuai pasal 16 UUPA 1960 tapi hanya bukti punya kewenangan untuk merencanakan peruntukan tanah HPL. Kewenangan ini sesungguhnya sudah tidak berlaku lagi oleh karena sudah diatur tersendiri dan khusus dalam UU Tata Ruang,” papar Anis.
Hal itu dibenarkan Budi Ketua RW 9 warga perumahan Taman Marina Kelurahan Tawangsari Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang. Ia menuturkan saat membeli rumah sudah bersertipikat HGB dan tidak menyangka akan timbul persoalan, yaitu untuk urus perpanjang atau pembaruan masa berlaku Eks SHGB di atas HPL yang sudah habis masa berlakunya sejak tahun 2018 lalu harus minta surat rekomendasi Pemprov Jateng terlebih dahulu selaku pemegang HPL yang hingga saat ini rekomendasi itu belum juga diterbitkan akibat ketidakbecusan Biro hukum dan BPKAD Pemprov Jateng yang tidak paham hukum kalau masalah rekomendasi itu hanya terkait retribusi dan warga setuju ditetapkan saja Rp 50.000,- sd Rp 100.000,- per tahun dan diatur sesuai perjanjian perdata umum untuk disetor ke kas daerah.
Bukan hanya itu, salah seorang pengusaha warga Marina mengatakan perumahan lebih dari 500 unit yang terdiri dari rumah tinggal, rumah toko (ruko) dan rumah kantor (rukan) tidak bisa transaksi karena harus menunggu pembaruan atau perpanjangan SHGB, sementara bayar pajak PBB hingga miliaran rupiah tetap dituntut untuk dibayar lunas tiap tahun oleh Pemerintah Kota Semarang.
Setelah melalui perjuangan yang panjang dari tahun 2018, kini persoalan tersebut telah menemui titik terang. Berdasarkan keterangan Anis, sudah ada pedoman penetapan tarif UWT (Uang Wajib Tahunan) dari BPN Pusat yang ditentukan Pemprov Jateng selaku pemegang HPL.
“Petunjuk BPN pusat tanggal 14 Maret 2023 itu sudah jelas menetapkan pedoman penentuan tarif uwt yang ditentukan oleh Pemprov Jateng selaku pemegang HPL berdasarkan pedoman dalam surat tersebut, tapi tetap saja Biro hukum dan BPKAD (Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah) Pemprov gak mau terbitkan aturan tarif uwt = uang wajib tahunan itu karena takut korupsi katanya,” kata Anis, Senin (1/5/2023).
Lanjut kata Anis, Biarpun diberi tahu bahwa korupsi tidak ada jika uwt itu masuk ke kas daerah. “Padahal saya sudah dapat info dari BPN Kota Semarang dan bahkan Gubernur Jateng juga mengatakan bahwa kalau takut korupsi beri aja tarif nol rupiah,” tuturnya.
Tampaknya bagian aset Pemprov dan Biro hukum Pemprov Jateng, kata Anis kemungkinan mengharapkan dapat sesuatu dari sekitar 3000 pemilik bidang tanah eks sertipikat HGB diatas HPL itu.
“Karena salah satu modus operandi korupsi paling umum dalam pelayanan publik adalah memperlambat urusan. Sepertinya kepala BPKAD dan Kepala Biro hukum Pemprov Jateng saya duga ada kecenderungan ke arah itu,” kata Anis.
Menurutnya, modus awalnya sekarang sudah terang benderang dimainkan dan mungkin mereka menunggu kapan warga atau orang kepercayaan warga pemilik bidang tanah eks SHGB diatas HPL melakukan pdkt (pendekatan-red).
“Saya sebagai salah seorang yang dipercaya warga pemilik tanah diatas HPL tidak akan berpikir kesitu meski Saya tahu bahwa dari pihak sana ada gejala nyata ke arah itu,” ujarnya.
Anis berencana melakukan langkah konkret agar persoalan warga kawasan sekitar PRPP mendapatkan hak semestinya.
“Rencananya kita mau lapor ke KPK dan Ombudsman, karena kedua lembaga daerah yang saya nilai sangat tidak becus dalam urusan pelayanan publik. Sudah selayaknya pimpinan kedua lembaga itu dimutasi oleh bapak Gubernur Jateng karena pimpinan kedua lembaga itu sudah tidak pantas diberi kepercayaan untuk melayani kepentingan umum sepenting ini,” pungkasnya.
(Vio Sari/Ttg)