Bengkulu – Di balik kokohnya tumpukan sak semen yang dipasarkan PT Bengkulu Kokoh Perkasa (BKP), terkuak realitas kelam yang selama ini terkubur dalam debu dan diam. Perusahaan distributor semen Tiga Roda ini diduga kuat menjalankan praktik usaha yang mengorbankan nyawa pekerja, mengabaikan keselamatan kerja, mencemari lingkungan, dan melecehkan hak-hak buruh. Lebih menyakitkan, ketika fakta-fakta ini mencuat, manajemen PT BKP justru memilih bungkam.
Merespons keresahan tersebut, media ini mengungkap dugaan pelanggaran serius dan sistemik yang tidak hanya melukai martabat kemanusiaan, tetapi juga mencoreng aturan hukum yang berlaku di negeri ini.
Tragedi mengerikan pada tahun 2022/2023, ketika seorang buruh angkut tewas saat memindahkan sak semen. Investigasi menemukan bahwa korban bekerja tanpa perlengkapan keselamatan kerja yang memadai. Seorang sumber internal mengungkap, “APD memang ada, tapi hanya formalitas. Tidak ada pengawasan. Tidak dipakai karena tidak diwajibkan.” Kematian itu terjadi dalam kelalaian mutlak—dan yang lebih memilukan, tak sepeser pun santunan diberikan kepada keluarga korban.
Lebih sadisnya lagi, luka para buruh ternyata tak berhenti di liang kubur. Nasib buruh lainnya yang menjadi korban dalam diam. Seorang mantan satpam mengaku menderita TBC akibat paparan debu semen yang sangat tinggi di ruang kerja. “Debu menempel tebal di komputer. Kantor seperti gudang semen,” ujarnya. Ironisnya, alih-alih mendapatkan perawatan atau dukungan medis, ia justru dirumahkan dan diberi dua pilihan yang pahit: mengundurkan diri secara sukarela dengan janji tunjangan tiga bulan, atau menunggu sembuh dalam waktu tiga bulan—jika tidak, dianggap mengundurkan diri. Praktik ini menunjukkan dengan telanjang betapa minimnya empati perusahaan terhadap kesehatan pekerja.
Tak kalah kejamnya, alam pun menjadi korban bisnis ini. Persoalan lingkungan pun tak luput dari sorotan. Ditemukan indikasi kuat bahwa limbah cair dari area kantor PT BKP dialirkan langsung ke sungai tanpa melalui proses pengolahan terlebih dahulu. Tak hanya itu, perusahaan juga diduga menggunakan sumur bor tanpa izin resmi dari dinas terkait. Tindakan ini tidak hanya melanggar hukum lingkungan, tetapi juga berpotensi merusak ekosistem dan mengancam keberlangsungan hidup masyarakat sekitar yang menggantungkan hidup pada sumber air tersebut.
Namun kemelut belum berakhir—perusahaan ini juga mencabik-cabik hak normatif pekerja. Sejumlah karyawan yang mengundurkan diri secara baik-baik justru tidak mendapatkan uang pisah sebagaimana mestinya. Alasan perusahaan—tidak adanya “one month notice”—sangat tidak manusiawi, apalagi beberapa dari mereka mengaku diintimidasi agar mengundurkan diri. Bahkan, meski sudah melakukan upaya korespondensi resmi ke manajemen pusat PT BKP dan GM HRD Group Bangunsukses Niagatama Nusantara, tidak satu pun dari tuntutan itu digubris sejak 2022 hingga 2025. Ini merupakan bentuk kecurangan yang sengaja dipelihara agar perusahaan bebas dari tanggung jawab hukum dan moral.
Sebagai penutup dari deretan kekejaman ini, kondisi kerja di kantor pun tak ubahnya ladang penyakit. Pemeriksaan fisik di ruang kerja memperlihatkan kondisi lingkungan kerja yang memprihatinkan. Debu semen menyelimuti komputer, meja, hingga peralatan kantor lainnya. Temuan ini menegaskan buruknya sistem sanitasi serta pengelolaan kesehatan lingkungan kerja, yang secara perlahan namun pasti, dapat menimbulkan dampak jangka panjang terhadap keselamatan dan kesehatan para karyawan.
Menanggapi hal tersebut Edwar dari LSM Ampera Indonesia menyatakan kemarahan dan keprihatinannya atas dugaan pelanggaran berat yang dilakukan PT Bengkulu Kokoh Perkasa. Edwar Bendang, secara terbuka menantang pemerintah untuk tidak menutup mata terhadap penderitaan para buruh dan kehancuran lingkungan yang ditimbulkan perusahaan tersebut.
“Ini bukan sekadar kelalaian—ini kejahatan korporasi yang membunuh pelan-pelan. Buruh tewas, ada yang sakit, lalu dibuang begitu saja. Kalau negara tetap diam, berarti negara telah ikut serta menormalisasi kekerasan terhadap buruh,” tegas Edwar dengan nada tajam.
Ia menambahkan bahwa pihaknya siap menggalang kekuatan sipil, buruh, dan mahasiswa untuk menuntut pertanggungjawaban hukum dari PT BKP. “Kami tidak akan berhenti sampai perusahaan ini diaudit total dan para korban mendapatkan keadilan. Bila perlu, kami akan mendorong pembentukan tim independen untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM dan lingkungan di lokasi,” lanjutnya.
LSM Ampera juga mendesak Komnas HAM, Kementerian Ketenagakerjaan, dan Dinas Lingkungan Hidup untuk tidak hanya mengeluarkan pernyataan, tapi turun langsung ke lapangan. “Jika negara kalah oleh perusahaan semen, lalu di mana letak martabat hukum kita?”
Nyawa bukan statistik. Buruh bukan angka. Jika negara diam, maka keadilan mati.
“Kami akan terus membongkar kejahatan korporasi ini. Dan jika hukum tak menjerat, publik akan mengadili lewat suara dan tekanan”, tutup Edwar.
Hingga berita ini ditayangkan, tim investigasi masih berusaha menghubungi pihak-pihak terkait lainnya.
tim