Ternate | Dutametro.com – Sejumlah perusahaan tambang di Maluku Utara kembali disorot. Dewan Pimpinan Daerah Gerakan Pemuda Marhaenis (DPD GPM) Maluku Utara menggelar aksi demonstrasi di depan Kejaksaan Tinggi Maluku Utara, Kamis (18/9/2025). Massa menuntut penegakan hukum atas dugaan pelanggaran serius, mulai dari pencemaran lingkungan, penyerobotan lahan warga, hingga abainya tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
Ketua DPD GPM, Sartono Halek, menegaskan bahwa pihaknya mendesak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) segera mencabut izin PT Karya Wijaya.
“Perusahaan ini diduga kuat tidak memiliki dokumen lengkap, termasuk rencana reklamasi dan pascatambang sebagaimana diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,” tegas Sartono.
Sartono menambahkan, PT Karya Wijaya juga dituding melakukan aktivitas tambang di pulau kecil, yang jelas dilarang. Berdasarkan UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K), kegiatan pertambangan di pulau dengan luas kurang dari 2.000 km² adalah pelanggaran hukum.
“Larangan ini bahkan sudah diperkuat dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023,” ungkapnya.
Selain itu, pembangunan jetty oleh perusahaan dinilai menabrak Pasal 16 ayat (2) UU Nomor 27 Tahun 2007 yang telah diperbarui dengan UU Nomor 6 Tahun 2023.
Tak hanya PT Karya Wijaya, GPM juga menyoroti PT Anugra Sukses Mining (ASM) yang beroperasi di Pulau Gebe, Halmahera Tengah. Sartono meminta inspektur tambang segera turun ke lapangan dan merekomendasikan pencabutan izin.
“Dugaan pelanggaran ASM meliputi ketidaklengkapan dokumen, tidak adanya rencana reklamasi, serta potensi kerusakan lingkungan yang bisa mengganggu ekosistem laut dan menurunkan hasil tangkapan nelayan,” jelasnya.
PT ASM diketahui memperoleh Izin Usaha Pertambangan (IUP) dari Bupati Halmahera Tengah tahun 2013 dengan masa berlaku hingga 2033, mencakup konsesi seluas 503 hektar. Namun lokasinya yang berada di pulau kecil dinilai melanggar UU PWP3K.
DPD GPM juga menuding PT Nusa Karya Arindo di Halmahera Timur melakukan praktik tambang ilegal di atas konsesi seluas 20.763 hektar. Perusahaan ini disebut menyerobot kawasan hutan, menambang tanpa izin resmi, dan mengabaikan kewajiban reklamasi.
“Aktivitas perusahaan bahkan tercatat sudah merambah sekitar 250 hektar hutan, termasuk hutan lindung, hutan produksi terbatas, hingga hutan produksi konversi. Penyerobotan hutan lindung jelas pelanggaran paling krusial,” tegas Sartono.
Atas berbagai dugaan pelanggaran ini, GPM Maluku Utara menilai praktik perusahaan-perusahaan tersebut telah melanggar UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan serta UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba.
Sartono mendesak Kejaksaan Agung RI segera menelusuri kasus tersebut, Kementerian ESDM mencabut izin perusahaan yang bermasalah, serta Komisi XII DPR RI melakukan inspeksi langsung terhadap aktivitas tambang di Maluku Utara.
“Pelayanan pemerintah terhadap rakyat adalah kewajiban konstitusional. Negara tidak boleh diam terhadap perampasan ruang hidup masyarakat dan kerusakan lingkungan akibat tambang,” pungkasnya.
(Jak)















