Oleh: Aka Malin Penghulu
* Pendahuluan
Sebagaimana telah diketahui, bahwa Datuk (Penghulu) dalam menjalankan pemerintahan dalam negeri dibantu oleh Manti, Malin, dan Dubalang. Orang-orang inilah yang dinamakan “Empat Jinih”, yaitu Datuk (Penghulu), Manti, Malin dan Dubalang.
Orang “Empat Jinih” ini mempunyai tugas dan kewajiban yang berlain-lainan dan masing-masing berdiri di atas tempatnya dan bersifat turun temurun.
Dalam masyarakat, kedudukan orang empat jinih ini tidaklah sama. Ada di antara mereka mempunyai kedudukan yang lebih tinggi satu dengan lainnya. Paling atas ialah Datuk (Penghulu) dan Malin. Antara Datuk dan Malin duduk sama rendah dan tegak sama tinggi.
Pada paruik (jurai) yang berlainan mereka dapat memberi dan menerima penganten, baik secara sejajar maupun bersilang, artinya paruik dari pihak Datuk (penghulu) dapat memberi atau menerima penganten dari pihak Datuk atau Malin. Agak rendah dari itu sedikit ialah Manti, tetapi lebih tinggi dari Dubalang. Paruik yang berketurunan manti hanya dapat menerima dan tidak dapat memberi penganten kepada paruik yang berketurunan Dubalang. Sedangkan dubalang hanya boleh memberi dan menerima penganten dari paruik yang berketurunan Dubalang saja. Untuk sekedar menjelaskan kedudukan dan tugas masing-masing dari orang empat jinih di Minangkabau di bawah ini akan kita urutkan sebagai berikut.
A. Datuk (penghulu).
Dalam pepatah adat Minangkabau Datuk ini dilambangkan sebagai “Payuang Panji”, patang manguruang, pagi mangaluakan (petang mengurung, pagi mengeluarkan). Artinya ia bertindak sebagai penjaga dan pemelihara orang yang ada di bawah naungannya. Kalau terjadi silang sengketa maka dialah yang akan memeriksa dan menyelesaikannya.
Dalam hal ini kata penghulu disebut : “Kata penghulu kata periksa”, artinya datuk akan selalu bersifat memeriksa, menyelesaikan. Sehingga segala pengaduan yang datang, datuk selalu menerima mempertimbangkan dan akan menentukan tindakan apa yang harus diambil.
Kalaulah ada anggota yang di bawah naungannya mempunyai hutang yang tak dapat dibayarnya, maka datuklah yang akan membayar hutang itu. Untuk ini dijelaskan dalam pepatah : “Datuk duduk dipintu hutang”. Sebab itu datuk harus tahu benar tentang keadaan anggota di bawah naungannya. Jangan sampai hidupnya sengsara.
Pergantian datuk ini berbeda di antara kedua kelarasan di Minangkabau =:
1. Kelarasan Bodicaniago, dan
2. Kelarasan Kotopiliang.
Pada kelarasan Bodicaniago bersemboyankan “Bulek aie dek pambuluah, bulek kato dek mupakek” (Bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat). Artinya dengan persetujuan orang separuik dan sekampung, penghulu dapat digantikan oleh ahli warisnya walaupun penghulu itu masih hidup.
Terjadinya penggantian penghulu (datuk) bukan saja dilakukan karena datuk telah meninggal, tapi juga karena datuk itu sudah banyak halangan. Seperti telah terlalu tua, timbangannya sudah tidak rata atau adil lagi.
Berbeda dengan itu, pada kelarasan Kotopiliang yang bersemboyan menurut pepatah: “Patah tumbuah hilang baganti” (Patah tumbuh hilang berganti). Artinya : Selama orang yang bergelar datuk itu masih hidup dia belum dapat digantikan walaupun sudah tua sekali atau karena sebab-sebab lain tidak dapat menjalankan tugasnya lagi. Untuk kelancaran pekerjaannya ia dapat menyerahkan tugas sehari-hari kepada kemenakannya. Inilah salah satu perbedaan yang prinsipil antara kedua kelarasan itu.
B. Malin.
Kedudukan malin dalam lingkungan masyarakatnya dapat dijelaskan dengan pepatah : “Suluah bendang dalam kampuang kato malin kato mandamai”. (Suluh yang terang dalam kampung kata malin kata mendamaikan).
Artinya malin bertugas memberikan nasehat kalau ada yang salah. Dia yang akan memberikan penerangan bagaimana seseorang harus bertindak dan berbuat. Kalau ada perhelatan dia yang akan memotong kambing atau kerbau, yang akan membaca do’a atau yang akan mengaji. Jika terjadi perhelatan dimana bukan malin yang berhak ini yang memotong hewan, membacakan do’a, mengaji dan sebagainya, maka kaum famili atau saudara dari malin merasa di abaikan dan biasanya walaupun diundang, namun mereka tidak akan menghadiri perhelatan tersebut.
Begitu pula jika terjadi kematian, dialah (malin) yang akan mengurusnya dan menyelenggarakan sampai dikuburkan.
Pada tiap-tiap kampung didirikanlah sebuah Surau atau langgar yang digunakan oleh malin untuk berkumpul dengan maksud merundingkan segala sesuatu untuk kebaikan kampung. Surau berasal dari kata “syura” bahasa Arab yang berarti “berunding”. Dan di surau ini pulalah berkumpulnya anak-anak muda yang belum berumah tangga. Melihat kedudukan dan tugasnya, fungsi malin ini tentulah ini akibat dari pengaruh Agama Islam yang datang ke Minangkabau.
3. Manti.
Manti bertugas sebagai penghubung antara datuk dengan warga kampung dan kadang-kadang bertindak sebagai wakil untuk (menyampaikan pesan dan amanah datuk). Adapun tugasnya dijelaskan sebagai : “Kato manti kato manghubung” (Kata manti kata menghubung).
Sesuatu persoalan yang harus diselesaikan cukuplah dibawa ke manti, kalau hal itu dapat diselesaikan oleh manti saja. Tak perlu diteruskan kepada Datuk. Setelah selesai persoalan itu, datuk hanya diberitahu oleh manti. Tetapi, kalau persoalan itu tidak bisa diselesaikan oleh manti, barulah dibawa ke datuk. Apa-apa perintah datuk mantilah yang menyampaikan kepada malin dan dubalang. Demikian pula sebaliknya kalau ada yang terasa oleh warga kampung maka mantilah sebagai titian air polongan asapnya untuk disampai kan kepada datuk.
4. Dubalang
Kedudukan dubalang dijelaskan sebagai : Parik paga dalam kampuang
Kato dubalang kato malando
Kan pajampuik nan jauah
Kan pambao nan barek
Lunak disudu kareh ditakiak
Makan bakuah darah
Lalok bakalang mumbang
Artinya:
– Parit pagar dalam kampung, dialah yang menjaga kampung dari kerusakan moril maupun materiel.
– Kato dubalang kato melando, yaitu ucapannya keras, kata-katanya tajam.
– Untuk menjemput yang jauh, kalau ada sesuatu yang akan diambil atau dijemput, maka dialah yang akan pergi mengambilnya walaupun jauh sekali.
– Untuk pembawa yang berat, artinya dialah yang akan membawa barang yang berat-berat baik kepunyaan datuk atau malin. Sebab datuk dan malin tidak boleh memikul barang berat di Minangkabau.
– Lembut disudu keras ditakik, artinya setiap orang yang melanggar undang-undang atau adat, dubalang akan bertindak teguh dan keras.
– Makan berkuah darah kalau perlu dubalang tidak gentar menghadapi maut. Darah adalah lauk makanannya.
– Tidur berkalang mumbang, artinya dia tidak mementingkan kesenangan dan tidak mengeluh dalam kesusahan menjalankan tugasnya.
Dubalang inilah yang menjadi kaki tangan datuk dalam kampung yang menjaga dan memeliharanya. Tampil ke muka kalau ada perkelahian. Dialah yang akan berjuang dan mempertahankan dari serangan luar.
Demikianlah sekilas pintas tentang fungsi orang “Empat Jinih” di dalam struktur masyarakat Minangkabau, terutama sekali di kelarasan Kotopiliang.
Di bawah ini dikutipkan pendapat Prof. Mr. M. Nasrun tentang kedudukan orang “empat jinih” :
* Penghulu itu adalah sebagai bumi, di atas mana sesuatunya berdiri.
* Manti adalah sebagai angin yang menyampaikan sesuatunya.
* Malin adalah sebagai air yang menghanyutkan yang kotor.
* Dubalang adalah sebagai api yang bertindak dengan keras.
Dan tugas mereka adalah:
* Penghulu menghukum sepanjang adat
* Malin menghukum sepanjang syarak
* Manti menghukum silang selisih
* Dubalang menghukum waktu ada tumbuh perkelahian atau perang.
– Penghulu: Menyuruh berbuat baik, melarang berbuat jahat.
– Malin : Membedakan halal dan haram
– Manti : Menerima dakwa dan melalaikan jawab.
– Dubalang : Menjaga kejahatan.
Penghulu teguh di adat
Malin teguh pada agama.
Manti teguh dibuat
Dubalang teguh di nagari.
Penghulu tegak di pintu adat
Malin di pintu agama
Manti di pintu susah
Dubalang di pintu mati.
Berdasarkan keterangan tersebut di atas dan diperkuat oleh pendapat Prof. Mr. M. Nasroen dapat diambil kesimpulan betapa pentingnya fungsi orang empat jinih ini pada sistem kekeluargaan dan struktur masyarakat di Minangkabau, sehingga dengan demikian dapatlah ditolak pendapat P.E. DE. Josselin De Jong dalam bukunya yang berbunyi: “These three, together with their penghulu, are the urang ampek jini. It is not an institu-tion of great importance …